metropesawat.com, BANDA ACEH – Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menilai pernyataan Pj Gubernur Aceh, Bustami tentang sistem bagi hasil Migas antara Pemerintah Pusat dan Aceh perlu penjelasan lebih lanjut.
Hal itu diungkapkan Ketua YARA, Safaruddin, SH, MH menanggapi pernyataan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Bustami Hamzah, SE MSi
yang terkesan Aceh akan mendapatkan 30 persen keuntungan dari hasil ekploitasi Migas oleh Mubadala.
“Pemahaman Bustami hanya bersifat eforia dan terkesan Aceh mendapatkan porsi yang sangat besar dari hasil Migas,” jelas Safaruddin, di Banda Aceh, Minggu (19/5/2024).
Padahal, kalau dibedah lebih detail sebenarnya Aceh hanya mendapatkan sebesar 6 sampai 8 persen dari Penghasilan ladang Migas tersebut.
Safaruddin menilai, Bustami tidak menjelaskan secara utuh terhadap apa yang disampaikan oleh Mubadala dan SKK Migas sebelumnya, sehingga Bustami mengatakan temuan baru dari Mubadala tersebut akan memberikan manfaat ekonomi bagi Aceh, jika onshore di atas 12 mil laut, maka pembagiannya 70:30.
Jadi, atas temuan besar tersebut, Bustami menyebut bagi hasilnya adalah Aceh akan mendapatkan 30 persen keuntungan.
YARA menilai pernyataan Bustami Aceh mendapatkan 30% dari keuntungan, harus diperjelas dulu dari keuntungan siapa, dari Keuntungan Perusahaan Mubadala atau keuntungan Pemerintah?
Safaruddin menilai seharusnya Bustami tidak merasa senang terlebih dahulu, karena Pemerintah Aceh tidak akan mendapat hak pengelolaan atas temuan tersebut apabila tidak ada upaya dari Pemerintahan Aceh (Gubernur dan DPRA) untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Hulu Migas di Aceh.
Di dalam PP nomor 23 tahun 2015 itu dijelaskan kewenangan Pemerintah Aceh sebagaimana tercantum dalam MoU Helsinki dan kemudian dituangkan dalam pasal 160 undang- undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Safaruddin menambahkan, bahwa sebenarnya angka 30% yang disebutkan Bustami tersebut merupakan bagi hasil yang akan diterima oleh Aceh dari bagi hasil porsi Pemerintah Indonesia.
“Apakah Bustami sudah tau berapa persen bagian yang diterima Pemerintah yang sebenarnya?,” tanya Safaruddin.
Menurut Safar skema kontrak yang digunakan oleh Mubadala saat ini adalah skema kontrak kerjasama (KKS) bagi hasil gross split.
Kontrak Kerjasama ini menggunakan mekanisme yang hampir sama dengan Royalti dan Tax, artinya negara mendapatkan bagian langsung dari penerimaan kotor (gross revenue) tanpa harus mengendalikan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Mubadala.
Dalam skema KKS bagi hasil gross split negara mendapatkan base split (bagi split awal) sebesar 57% untuk minyak bumi dan 52% untuk gas bumi sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM nomor 8 tahun 2017 pasal 5.
Namun kemudian, terdapat penyesuaian split berupa komponen variabel yang akan memberikan penambahan split kepada Mubadala yang mana otomatis mengurangi base split bagian negara tersebut.
Jika ditelusuri satu persatu komponen variabel tersebut, maka akan terdapat penambahan split untuk Mubadala sebagai berikut ;
- Status lapangan, POD 1 : 5%
- Lokasi lapangan, Offshore h> 1000 m : 16%
- Kedalaman reservoir, >2500 m : 1%
- Ketersedian infrastruktur, (well developed) : 0 %
- Jenis reservoir, konvensional : 0 %
- CO2, <5 : 0%
- H2S, < 100 ppm : 0%
- Berat jenis, > 25 : 0%
- TKDN, 50-70 : 3%
- Tahapan Produksi, Primer : 0%
- Harga Minyak 70-85 : 0%
- Kumulatif Produksi < 1 MMBOe: 5%
Total penambahan split atas kontraktor base split adalah sebesar 30% berdasarkan asumsi 12 komponen variabel tersebut sehingga split negara berkurang 30%.
Maka, total split yang akhirnya didapatkan negara hanya 27% untuk minyak bumi dan 22% untuk gas bumi.
“Lantas, Aceh dapat berapa?, Jika kita mengatakan bahwa Aceh mendapatkan 30% itu sebenarnya adalah Aceh mendapatkan 30% dari porsi Pemerintah, yaitu 30 % x 27 % artinya 8,1 persen untuk minyak bumi, dan 30% x 22% artinya 6,6 persen untuk gas bumi,” rinci Safaruddin.
Dengan hitungan cepat di atas ternyata Aceh hanya akan mendapatkan 6 sampai 8 persen dari gross revenue yang didapatkan dari penemuan ladang gas tersebut.
Aceh tidak mendapatkan kuasa manajemen operasi karena seluruh bisnis proses tetap dilakukan di Jakarta oleh SKK Migas bukan oleh BPMA yang kewenangannya dibatasi hanya hingga 12 mil laut.
“Padahal, yang diharapkan adalah adanya multiplier yang signifikan atas pengembangan ladang migas tersebut di kemudian hari,” harap Safaruddin.
Pertanyaan selanjutnya kapan hasil 6 sampai 8 persen itu dapat dinikmati?
Menurut Safar, itu semua butuh waktu, karena pengembangan lapangan di laut dalam, butuh waktu antara 5-10 tahun lagi agar dapat berproduksi.
“Harapan rakyat, Aceh mendapat porsi yang lebih besar, hal itu bisa diperjuangkan, masih ada kesempatan jika Pemerintahan Aceh (Gubernur dan DPRA) mau memperjuangkan revisi PP nomor 23 tahun 2015 sehingga kewenangan Aceh dalam bidang migas seperti yang sudah tertera dalam MoU Helsinki dan UUPA menjadi optimal,” pungkasnya.(Seni Hendri)