“Pemahaman kemampuan fondasi yang hanya dibatasi pada calistung ini memiliki sangat banyak dampak bagi anak-anak kita, bukan hanya pada anak yang akan masuk SD tapi juga anak – anak di PAUD. Miskonsepsi ini mengakibatkan proses pembelajaran di PAUD selama ini hanya berfokus pada kemampuan calistung dan mengabaikan pengembangan 6 (enam) kemampuan fondasi dasar anak yang terdiri dari kemampuan mengenal agama dan budi pekerti, keterampilan sosial dan bahasa, kematangan emosi, kematangan kognitif, pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri serta pemaknaan terhadap belajar yang positif,” ungkap Ny Arfaiyah.
Lanjutnya, miskonsepsi ini juga berimbas pada proses penerimaan anak di SD, dimana calistung masih dijadikan tolak ukur dan syarat utama dalam menentukan apakah seorang anak diterima atau tidak sebagai peserta didik baru.
“Anak-anak kita mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh orang dewasa di sekelilingnya, salah satu hak anak usia dini adalah untuk bebas bermain. Dengan adanya keharusan untuk pintar calistung, maka hak anak untuk bermain dan berimajinasi akan terpangkas. Padahal bagi anak anak kita yang berada di usia dini, bermain adalah belajar dan belajar adalah bermain,” ungkapnya
“Di sisi lain kita juga harus mencermati bahwa masih banyak anak-anak kita belum pernah sekalipun mendapatkan pendidikan di PAUD karena beberapa sebab sehingga rasanya akan tidak adil jika memberlakukan tes calistung pada mereka. Melalui gerakan transisi PAUD ke SD yang menyenangkan ini, sebagai Bunda PAUD Kabupaten Aceh Timur saya ingin mengajak semua pihak untuk melakukan gerakan perubahan,” ajak Ibu Pj Sekda Aceh Timur ini.(ardi)