Ilustrasi Pilkada
Pilkada serentak masih akan berlangsung satu semester lagi. Namun di beberapa wilayah genderang perang politik (sudah) mulai ditabuh.
Tak terkecuali Kabupaten Aceh Timur sebagai salah satu daerah bekas basis konflik di Aceh, tentu saja kekuatan dan hegemoni kekuatan politik berbasis lokal sangatlah dominan dalam setiap event-event kompetisi politik khususnya PILKADA.
Sejak Pilkada pertama pasca damai tahun 2006, Aceh Timur sudah dipimpin oleh mantan kombatan, dan kemudian selanjutnya selama dua (2) periode berturut-turut kepemimpinan eksekutif Aceh Timur mulai Bupati dan Wakil Bupati 100% (seratus persen) berasal dari kombatan.
Sehingga praktis Aceh Timur pasca damai hingga sekarang 15 tahun lebih sudah dipimpin oleh mantan kombatan.
Pilkada terakhir pada tahun 2017 kemarin malah dari dua pasang calon kontestan yang bertarung, dua-duanya berasal dari DNA yangg sama, yaitu DNA perjuangan GAM.
Kondisi perpolitikan hari ini terlihat lebih cair dan berwarna dibandingkn dengan kompetisi-kompetisi sebleumnya yang terlihat terbelah dan terpolarisasi.
Dimana sekarang ini terlihat kemunculan tokoh-tokoh sipil baru engan basic yang beragam yang menurut hasil survey, dari opini yang berkembang, dan desas-desus dari mulut ke mulut akan maju sebagai Cabup Aceh Timur 2024.
Sebut saja diantaranya Iskandar Usman Farlaky (anggota DPRA Aktif tiga periode) dari Partaj Aceh, selanjutnya Faisal Riza (pengusaha ikan) H. Sulaiman (kontraktor), dan Firman Dandy ( birokrat muda Aceh Timur).
Selain dari elemen sipil, para mantan kombatan seperti Ridwan Abubakar (anggota DPRA) Zulfadly Aiyub (ketua DPW PA Aceh Timur) dan Muslem Usman (mantan DPRA) juga diprediksi ikut meramaikan bursa kompetisi politik kedepan.
Dari hasil survey dan analisa penulis serta opini yang berkembang bahwa (ada) kecendrungan dan keinginan dari sebagian masyarakat agar Aceh Timur dipimpin oleh “sipil” yang punya kapasitas, (bukan) sekedar hanya punya modal finansial saja.
Dari sejumlah Nama-nam dari sipil yang telah disebut diatas mengerucut kepada dua tokoh yangg “dianggap layak” dan punya kapasitas untuk jadi Bupati ke depan yaitu Iskandar Usman Al-Farlaky dan Dr. Firman Dandy.
Nama terakhir yang disebut ini, menurut penulis sebagai perempuan, Firman Dandy seakan terlihat sebagai “simbol baru” dari perjuangan yang elegan dari kekuatan kelompok politik dan intelektual muda di Aceh Timur.
Sebagai birokrat Firman Dandy tentu menguasai banyak hal-hal teknis yang membutuhkan kombinasi antara ketajaman pikiran dan keberanian bersikap.
Secara moral, etikabilitas, Firman Dandy juga tidak ada cacat dan noda, sehingga boleh dikatakan “beda etis” antara Firman Dandy dengan calon yang lain sangat jauh sekali.
Kemunculan Firman Dandy sebagai Cabup harus diterima sebagai sebuah fakta politik. Firman Dandy berhak untuk diuji ketajaman perspektifnya dalam membangun daerah, sehingga Firman Dandy harus diberi kesempatan untuk memimpin.
Terkait dengan anggaran untuk perempuan, kami berharap Firman Dandy bukan hanya MEMBERDAYAKAN perempuan, tapi juga harus MEMIHAK pada perempuan.
Yang punya kapasitas (haruslah) memimpin, masalah sejarah tidak memberinya kesempatan itu soal lain.
Jika seseorang yang tidak ada kapasitas tapi tiba-tiba muncul dan diberi kesempatan sebagai pemimpin, maka pastilah dia akan memanipulasi semua hal untuk kepentingan pencitraan dirinya.
Dan kita tidak ingin (lagi) mental-mental destruktif seperti ini (kembali) memimpin Aceh Timur.
Atum butuh perubahan.. Firman Dandy adalah NEW HOPE, bukan No Hope…
Mihrima: (Pegiat Perempuan Aceh Timur)