metropesawat.com, BANDA ACEH- Mutu dan daya saing pendidikan Aceh rendah di level nasional. Padahal Aceh istimewa dalam aspek pendidikan.
Selain itu, di Aceh juga terdapat Majelis Pendidikan Aceh (MPA) untuk mengangkat mutu pendidikan Aceh dan merancang pendidikan yang khas dan mampu bersaing.
MPA memiliki anggaran tahunan yang besar dari APBA, untuk gaji, perjalanan dinas dan lain-lain.
Nilai rata-rata kelulusan alumni SMA/SMK/MA di Aceh dalam ajang Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) masih sangat rendah, dibawah rata-rata nasional.
Selain itu, keberadaan SMA di Aceh yang masuk dalam 1.000 sekolah terbaik di Indonesia dari masa ke masa sangat sedikit.
Demikian dua hal yang mengemuka dalam diskusi bertema Evaluasi Pendidikan Aceh 2024 terkait peringatan hari pendidikan nasional yang digelar oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Minggu (12/05/2024) di kawasan Batoh Banda Aceh.
“Kami menemukan dua masalah besar dalam evaluasi pendidikan Aceh, yaitu mutu lulusan SMA dan nominasi sekolah terbaik asal Aceh di level nasional,” kata Safaruddin SH MH kepada awak media, Minggu.
“Pertama mutu atau nilai rata-rata kelulusan alumni SMA pada UTBK atau SNBT sangat rendah. Kedua SMA asal Aceh yang masuk seribu sekolah terbaik nasional hanya tiga unit, yaitu SMA Mosa, SMA Fajar Harapan dan SMA Lab School Unsyiah,” ujar Safar.
“Ditambah satu unit madrasah di bawah Kemenag yaitu MAN Insan Cendikia Aceh Timur. Itu saja empat SMA/MA terbaik dari Aceh,” sambung Ketua YARA.
Safaruddin menambahkan, data tahun 2021 yang ada pihaknya bahkan menunjukkan nilai rata-rata kelulusan alumni SMA/MA asal Aceh berada pada peringkat 25, di bawah Papua Barat.
“Nah, dalam hal ini kami dari YARA mempersoalkan keberadaan Majelis Pendidikan Aceh atau MPA. Apa saja kerja mereka, selain menerima honor atau gaji bulanan, uang perjalanan dinas, mobil dinas, kantor megah dan lain-lain sehingga mutu pendidikan Aceh sangat bermasalah,” tanya Safaruddin.
Safaruddin melanjutkan, MPA adalah lembaga setara SKPA yang memiliki DPA dan anggaran tersendiri. MPA juga bagian dari implementasi keistimewaan Aceh melalui UU Nomor 44 Tahun 1999.
“MPD atau MPA sudah berdiri selama 20 tahun lebih. Lalu kenapa gak mampu mewujudkan pendidikan Aceh yang bermutu dan sanggup bersaing di level nasional? Sepertinya ada yang tak beres dalam perekrutan anggota MPA,” gugat Safaruddin yang juga mahasiswa S3 Ilmu Hukum pada USK ini.
“Kami mempelajari masalah yang ada di lingkaran MPA dan mungkin akan melakukan advokasi hukum ke depannya. Tak boleh dibiarkan MPA yang merupakan Lembaga Keistimewaan Aceh itu dirusak oleh oknum-oknum tertentu,” katanya.
Dia mempersoalkan kenapa selama ini para pengamat pendidikan kerap menyalahkan Dinas Pendidikan Aceh tanpa berani menyentuh MPA.
“Ada apa ini, mengapa orang pada takut menggugat MPA,” seru Safaruddin.
Dia meminta semua pimpinan dan komesioner Lembaga Keistimewaan Aceh untuk bekerja serius dan mampu menunjukkan bahwa Aceh adalah daerah istimewa melalui adanya mutu, layanan, karakter dan sebagainya.
“Jangan kotori Lembaga Keistimewaan Aceh untuk tujuan mencari nafkah, tanpa mau dan mampu berbuat kebaikan,” tanda Safaruddin.(Seni Hendri)