Penulis: Mahyuddin SPd MAP (Tokoh Pemuda dan Pemerhati Sejarah di Aceh Timur)
Agama Islam pertama kali masuk ke Asia Tenggara melalui pesisir pantai Timur Provinsi Aceh, tepatnya di wilayah Peureulak, yang saat ini masuk dalam kawasan pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
Kerajaan ini didirikan pada tahun 840-864 Masehi dengan raja pertamanya yaitu Sultan Alaiddin Said Maulana Abdul Aziz Syah. Sebelumnya, kerajaan ini diproklamirkan oleh Sultan Said Maulana Abdul Aziz Syah pada 1 Muharram 225 Hijriah, bertepatan dengan 840 Masehi.
Dari berbagai sumber sejarah sudah sangat jelas disebutkan, bahwa jejak kerajaan Islam di kawasan Asia Tenggara bermula dari Bandar Khalifah, (Paya Meuligo) Peureulak, Aceh Timur hingga disebarkan oleh para Ulama-ulama ke wilayah lainnya di Nusantara.
Namun mirisnya, jejak leluhur dan tempat kebesaran agama Islam yang menjadi pondasi dalam hidup ini seakan terlupakan begitu saja, kondisi dan jejak kerajaan ini sungguh sangat menyayat hati. Mengapa tidak, bayangkan, sejak berdirinya pada 12 Abad silam, lokasi dan tempat makam para raja yang telah berjasa ini seakan luput dari perhatian.
Bahkan, sampai saat ini wacana Monumen nasional islam Asia Tenggara (MONISA) yang sebelumnya digadang-gadangkan akan dibangun belum juga terwujud sampai saat ini.
Lokasi yang rencananya akan dijadikan sebagai bukti peradaban Islam dan pusat penelitian sejarah, masih tampak sejumlah bangunannya dalam kondisi memperihatinkan sebagai tempat yang paling bersejarah dan megah.
Sebelumnya, Wacana pendirian MONISA di lokasi situs Kerajaan Peureulak ini dianggap penting sebagai tempat pertama kalinya ajaran Islam berkembang hingga ke pelosok tanah Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Bahkan, dari sejumlah referensi yang ditemui penulis pembangunan MONISA sempat dibahas pada pertemuan penting oleh tokoh-tokoh dari Aceh di Rantau Kuala Simpang (Aceh Tamiang).
Acara itupun berlangsung sejak 26 hingga 30 September 1980. Seminar internasional ini menghadirkan para pemateri seperti, Prof Buya Hamka, Prof Ali Hasjmy, Prof Madya dan juga Dr Wan Hussein Azmi dari Malaysia. Bahkan turut hadir juga Prof Dr Arum Komar Das Gupsta dari India, serta sejumlah pembanding lainnya.
Saat ini, selama 40 tahun telah berlalu dari pertemuan bersejarah yang dimotori oleh Ali Hasjmy itu, kondisi komplek makam para raja di Peureulak masih tampak biasa – biasa saja.
Bahkan, bangunan berbentuk bilik Dayah (pesantren), dan balai di komplek makam Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah (Sultan Abdul Aziz Syah) Peureulak, terancam roboh.
Kondisi miris ini sebelumnya sempat diberitakan oleh media massa media , di komplek pemakaman raja pendiri agama Islam pertama di Asia Tenggara ini terlihat tak terawat, dan juga terkesan kumuh.
Selain balai ditengah komplek pemakaman yang telah rusak, bilik Dayah yang berkontruksi kayu yang ada di lokasi ini juga tampak telah lapuk dan hampir roboh. Namun, juga terdapat beberapa bangunan baru lainnya seperti ruang kantor yang telah dibangun, walaupun kurang difungsikan.
Sejumlah elemen di Aceh Timur sangat mengkhawatirkan dengan kondisi komplek makam Sultan pendiri agama Islam di Asia Tenggara ini.
Selain makam Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah, di sampingnya juga terdapat makam permaisurinya Putri Makhdum Khudawi yang ada di komplek makam ini, dan berlokasi Desa Bandrong, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur.
Salah seorang dosen dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang ditemui penulis saat berkunjung ke lokasi ini beberapa waktu lalu menuturkan, mereka sedang melakukan pengumpulan bahan tentang sejarah pertama masuknya islam.
Para mahasiswa di lokasi ini juga tampak sedang melakukan penelitian, dengan menggunakan almamater warna biru, dan mereka mengaku khusus datang dari Ibukota Provinsi Aceh untuk melakukan penelitian di makam ini.
“Ini dari IAIN Banda Aceh melakukan penelitian,” ungkap Ambo, salah seorang dosen sejarah kepada penulis, yang mengunjungi lokasi bersama rombongannya Akademisi saat itu.
Tak hanya dosen dan mahasiswa, tokoh agama, pecinta sejarah, masyarakat maupun kaum birokrat juga mempunyai harapan yang sama. Lokasi bersejarah ini hendaknya harus dipugar kembali agar lebih bergaung menjadi tempat bersejarah yang diakui dunia.
Jika Ada Kemauan Pasti Ada Jalan
Ibarat kata pepatah, dimana ada kemauan pasti ada jalan, terkecuali jika semua kita telah menutup hati dan tak lagi mau berfikir tentang hal sesuatu yang besar. Bahkan, untuk kemuliaan sekalipun.
Terlepas dengan kegagalan di masa lalu, mestinya setelah 40 tahun lamanya saat wacana pembangunan kembali cagar budaya dan jejak penyebaran Islam ini di gemakan di Rantau Kuala Simpang, oleh Ali Hasjmy dan kawan-kawan, mestinya estafet semangat untuk menjadikan kawasan ini lebih berkembang mestinya tak boleh pudar.
Pemerintah maupun yang punya kapasitas seharusnya tak boleh diam. Berbagai cara masih bisa dilakukan, seperti membangun komunikasi dengan pemerintah pusat, menggelar seminar internasional yang bertemakan pembangunan monumen nasional Islam Asia Tenggara.
Bisa jadi dari keseriusan itu, bukan tidak mungkin akan mengundang kepekaan pemerintah pusat yang lebih serius, bahkan peluang funding dari pemerintah pusat, lembaga luar negeri, bahkan OKI (lembaga kerjasama negara Islam) sekalipun juga masih mungkin akan berkiblat untuk menggenjot pembangunan MONISA.
Semangat awal ini, tentu dapat dimulai dengan membuka ruang seminar nasional oleh instansi terkait, dengan melibatkan Akademisi, pakar dan pecinta sejarah, pemerintah daerah dan juga tokoh agama, hingga ke level nasional.
Tak hanya itu, kepanitian yang serius juga mesti direkonstruksi kembali sebagai langkah awal dan strategis dalam membangun kembali MONISA dan jejak kerajaan Islam yang ada di Peureulak, Aceh Timur.
Wacana ini bukan mustahil dilakukan, jika kita ingin serius mewujudkan kembali apa yang pernah digagas oleh pendahulu kita untuk merekontruksi MONISA. Bisa jadi sebagian kaum yang pesimis menganggap itu semua hanya mimpi. Namun, tidak sedikit yang berharap pula agar mimpi itu menjadi nyata, bahkan menaruh asa agar pusat kerajaan Islam di Asia Tenggara ini dapat terwujud di suatu masa.
Dengan potensi yang ada ini, bila serius digarap, suatu saat Aceh Timur akan menjadi wilayah yang penting sebagai pusat penelitian, pendidikan perguruan tinggi Islam, serta dapat dibangunnya berbagai sarana dan prasarana pendukung lainnya yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar.
Mengejar mimpi itu, bagi sebagian kaum pesimis memang terasa mustahil, bahkan sebagian dari mereka ogah untuk mencoba demi perubahan, akhirnya pembangunan ke arah ini jalan di tempat. Jangankan impian besar untuk mewujudkan pembangunan Monisa, cagar budaya yang telah ada di depan mata pun seakan luput dari perhatian.
Refleksi 40 tahun tahun silam, sejak Ali Hasjmy Cs mulai ingin mewujudkan MONISA ini, semestinya dapat menjadi spirit oleh para pemangku jabatan, sehingga terbangun kembali ruh dan semangat yang telah lama mati suri, karena memugar sejarah bukanlah hanya sebatas seni bernostalgia, tapi sejarah adalah pelajaran yang bisa kita tarik ke masa sekarang, untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik.