Metropesawat.com,Aceh Timur | Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Forum Analisis Strategis Teknologi (FANST) Aceh merespons tegas seruan Counter Polri Nusantara di bawah komando Agus Flores terkait pemberantasan mafia illegal logging. Langkah ini diambil menyusul maraknya bencana hidrometeorologi sepanjang tahun 2025 yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Sekretaris Jenderal DPW FANST Aceh, Agus Suriadi, menegaskan bahwa kejahatan lingkungan berupa pembalakan liar sudah berada pada titik yang tidak bisa ditoleransi. Menurutnya, kerusakan hutan merupakan faktor utama pemicu banjir bandang dan tanah longsor yang merenggut keselamatan rakyat.
Kejahatan Terstruktur, Bukan Sekadar Musibah
Agus menilai, rentetan bencana yang terjadi di awal tahun 2025 ini adalah murni bencana ekologis akibat pembiaran kejahatan hutan selama bertahun-tahun.
“Kami sejalan dengan pernyataan tegas Counter Polri Nusantara dan Agus Flores. Tangkap dan sikat habis mafia illegal logging di Aceh tanpa kecuali. Siapa pun dia—baik oknum pengusaha maupun oknum aparat yang membekingi—harus diproses hukum secara transparan,” tegas Agus Suriadi dalam pernyataan resminya.
Ia menambahkan bahwa rakyat kecil selalu menjadi korban paling terdampak saat kawasan lindung dijarah demi keuntungan segelintir pihak. Hutan yang gundul dan rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) telah mengubah hujan menjadi petaka bagi permukiman warga.
FANST Aceh mendesak Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta aparat penegak hukum terkait untuk tidak hanya menyasar pekerja di lapangan, tetapi juga membongkar jaringan aktor intelektual dan para cukong besar.
Penegakan hukum yang menyentuh level pemodal (cukong). Pengawasan ketat pada praktik illegal logging lintas provinsi (Aceh-Sumut-Sumbar). Meminta proses hukum dilakukan secara terbuka dan tanpa tebang pilih.
“Jangan lagi rakyat dikorbankan. Aceh, Sumut, dan Sumbar hari ini menangis karena keserakahan. Penegakan hukum harus menyentuh aktor utama, bukan sekadar sandiwara penangkapan kelas teri,” ujarnya lagi.
Sebagai bentuk keseriusan, FANST Aceh menyatakan kesiapannya untuk mengawal kasus ini, termasuk membuka data lapangan mengenai aktivitas penebangan liar yang masih berlangsung di wilayah-wilayah rawan.
“Ini bukan sekadar soal hutan, tapi soal nyawa manusia. Keadilan ekologis adalah bagian dari keadilan sosial. Jika negara kalah oleh mafia hutan, maka bencana akan terus menjadi warisan kelam bagi generasi mendatang,” tutup Agus.
