Saat berdiskusi dengan para ulama, ia lebih banyak mendengar daripada berbicara, menyimak setiap nasihat dengan saksama. Kedekatannya dengan para teungku di dayah hingga tokoh masyarakat di pelosok desa menunjukkan bahwa ia memandang mereka sebagai guru dan orang tua.
Masyarakat Aceh Timur sering menyaksikan T. Zainal hadir di tengah-tengah mereka tanpa protokoler yang ketat. Ia tak segan berjalan di antara keramaian, menyalami warga satu per satu tanpa memandang status sosial. Ia kerap duduk di warung kopi untuk bercengkerama dengan petani, mendengarkan keluhan nelayan, atau sekadar menyapa anak-anak sekolah.
Sikapnya yang tidak berjarak ini membuat warga merasa bangga dan memiliki pemimpin yang benar-benar merakyat. Kalangan muda mengenalnya sebagai sosok yang ramah, sementara para tetua menyebutnya sebagai
“pewaris adab Aceh lama yang mulai hilang.”
T. Zainal terlahir dari keluarga pejuang di Kecamatan Madat. Ayahnya adalah seorang mantan kombatan GAM yang menempanya menjadi pribadi yang kuat dan berprinsip.
Sementara dari ibunya, ia mewarisi kesabaran dan kasih sayang.
Baca halaman Selanjutnya